Dengan nada seloroh, orang sering bilang bahwa pemimpi tak bisa jadi pemimpin. Tak sepenuhnya salah, memang. Mimpi takkan pernah jadi apa-apa tanpa tindakan apa pun untuk mewujudkannya. Tapi sebuah tujuan besar dan layak dikejar juga takkan lahir tanpa keberanian bermimpi. Konsep kepemimpinan Quantum Leadership yang dikembangkan oleh The Jakarta Consulting Group menyinggung hal ini.
Quatum Leadership adalah konsep kepemimpinan yang berorientasi pada masa depan dengan komitmen untuk dapat “melihat dan bermimpi”, “mengubah”, serta “menggerakkan” tim ke arah tujuan yang direncanakan.
Ada tiga filosofi dasar dalam konsep kepemimpinan ini. Pertama, filosofi yang berkaitan dengan tugas seorang pemimpin untuk ‘melihat, bermimpi, dan melaksanakan’, yaitu architect approach. Seorang pemimpin diumpamakan sebagai seorang arsitek pembangun masa depan organisasi. Dia diharapkan mampu membuat bangunan imajinernya tentang bangunan masa depan organisasi, dengan tetap berpijak pada realitas. Hal ini kita sebut sebagai pendekatan Creative Imagination Based on Reality (CIBOR). Apabila diberi sebidang tanah yang berbukit-bukit untuk dibangun, seorang arsitek tidak akan berpikir, “Wah, ini sih sulit. Mengapa tidak membeli sebidang tanah yang datar sehingga memudahkan saya untuk membangunnya?” Jika hal ini yang terjadi, maka ia bukanlah arsitek yang hebat. Mengapa? Karena tidak semua tanah datar. Justru ia harus menghadapi realitas yang ada, dan menciptakan bangunan yang paling layak untuk kondisi yang ada. Seorang pemimpin harus memahami realitas internal maupun eksternal organisasi, menerima keadaan ini, dan membuat angan-angan “bangunan masa depan” berdasarkan realitas ini. Jadi imajinasi yang hebat saja tidak memadai, karena tetap harus berpijak ke bumi.
Kedua, filosofi yang berkaitan dengan peran seorang Quantum Leader untuk “mengubah”, yang diberi nama Mother Teresa Approach, yaitu Nurture with Respect, Love, and Care. Sebagai salah satu pemenang Nobel, Ibu Teresa memegang prinsip untuk “membimbing dengan rasa hormat, cinta, dan perhatian”. Artinya, untuk “mengubah” anggota organisasi, diperlukan pendekatan personal yang prima dari seorang pemimpin. Pemimpin yang baik akan membimbing pengikutnya sehingga mereka mampu – paling tidak – menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Pemimpin yang baik akan membimbing anak buahnya dengan rasa hormat, cinta, dan penuh perhatian.
Ketiga, filosofi Quantum Leadership berkaitan dengan ‘menggerakkan’, yaitu menerapkan The Golf Game Concept, yang terdiri dari direction

(mengarahkan), distance (mengukur jarak), dan precision (ketepatan). Maksudnya, untuk menggerakkan anak buah, seorang pemimpin mesti memiliki tata pikir seperti dalam permainan golf. Sebelum memukul bola golf, hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan arahnya. Jika arahnya salah, semua usaha yang dilakukan akan sia-sia. Kemudian barulah memperkirakan jaraknya. Setelah itu kita harus berpikir mengenai ketepatannya. Dalam kepemimpinan, seorang Quantum Leader pertama kali harus berpikir mengenai arah yang ditempuh untuk mencapai visi, kemudian memperkirakan seberapa “jauh” impian itu harus dicapai. Setelah itu barulah melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Dalam permainan golf, seseorang yang paling ahli sekali pun tidak akan mampu menyelesaikan suatu pertandingan berkali-kali hanya dengan satu kali pukulan (hole in one). Hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Hal yang sama berlaku dalam kepemimpinan. Untuk mencapai visi yang telah ditetapkan, perlu dibuat tahapan-tahapan yang diperlukan (milestones).
Jika ketiga filosofi tadi sudah dipegang, yang dibutuhkan tinggal sebuah gaya kepemimpinan yang mendukung. The Jakarta Consulting Group mengembangkan konsep Iron Grip in Velvet Glove, yaitu kepemimpinan yang tegas namun dibungkus oleh kelembutan. Kepalannya adalah kepalan besi, tetapi bungkusnya beludru yang lembut. Kepemimpinan model ini disebut IV [baca i-ve] Leadership. Iron and velvet leadership berarti pemimpin dituntut untuk tampil tegas, keras, tidak mudah dibengkokkan. Namun, di sisi lain seorang pemimpin diharapkan untuk tampil selembut beludru yang terasa sangat halus saat diusapkan ke wajah. Dengan begitu orang yang dipimpinnya mau mendekat, merasa nyaman, namun tetap sadar bahwa pemimpinnya tegas. IV Leader juga mempunyai kemauan, bijak, tidak bisa ditawar, walaupun penampilan luarnya sangat lembut.
Di zaman di mana demokrasi dijunjung tinggi, sikap tegas yang diungkapkan dengan cara yang keras tidak akan mengundang simpati. Bahkan menimbulkan pembangkangan dan perlawanan. IV Leader tampil sebagai pemimpin yang kuat, tetapi tidak kasar. Ia berbudi halus, tapi tidak lemah. Ia berani terbuka dan terus terang, tetapi tidak berarti kejam tanpa perasaan. Ia banyak pertimbangan, tetapi tidak lamban. Ia rendah hati, tetapi tidak rendah diri. Ia berpenampilan elegan, tetapi seperti syair lagu anak-anak, ”baik hati dan tidak sombong”. Sebuah gaya kepemimpinan yang telah diuji oleh zaman. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. (DP/Dikutip dari buku Leadpreneurship: Pendekatan Strategic Management dalam Kewirausahaan karangan A.B. Susanto, terbitan ESENSI)